DONGENG: Kesetiaan Kura-Kura

Suara Merdeka 4 Desember 2016



Menulis cerita buat anak-anak itu gampang-gampang susah. Gampangnya, ide cerita cukup hal-hal sederhana, kalimat yang digunakan pendek/ringan saja—nggak perlu menggunakan majas yang tinggi-tinggi atau istilah yang rumit, dan cerita nggak harus panjang—misalnya cukup dengan satu konflik (sehari bisa saja bikin lima atau enam cerita—kalau pas ada ide, sih). Susahnya itu dalam membangun image ‘anak-anak’-nya. Seperti pengalaman saya sendiri: ide cerita fix, penyusunan kalimat secara teknis oke, alur-tema-dll nggak ada masalah; giliran dibaca, imej anak-anaknya zonk. Bolak-balik baca lagi, makin bikin kerdil. Duh, apa yang salah dengan tulisanku? begitu dulu saya awal-awal menulis cerita anak. Padahal waktu itu, pertama nulis cerita anak adalah dalam keadaan ‘harus’ karena merupakan tugas suatu ajang pencarian duta literasi.

Ada yang tahu ajang UNSA Ambassador*?

Nah, di situlah pertama kali saya harus membuat fabel. Fabel yang identik dengan cerita anak-anak membuat saya kalang kabut. Jujur, sebelumnya saya belum pernah membuat cerita anak, apalagi bentuk fabel (cerita dunia binatang). Sudah gitu dibatasi dengan sebuah tema, temanya tentang ‘setia’. Dengan clue ‘setia’ para kontestan (saya aja, sih, maksudnya) berpikir tulisan mengarah ke hal-hal percintaan. Saya pikir lagi. Tidak. Pasti tidak harus. Setia itu luas tentunya. Saya bisa mengambil cerita bertema setia mungkin pada hubungan lain, misal hubungan persahabatan, atau hubungan bisnis, dan lain-lain. Ya, kemudian saya memutuskan untuk mengambil tema setia dalam persahabatan.

Mulailah saya mencari referensi seputaran fabel. Iya, itu karena saya nggak punya pengalaman sama sekali dalam menulis fabel. Saya baca-baca contoh fabel. Dan, akhirnya saya menggabungkan ide yang muncul dari khayalan saya dengan cerita-cerita yang menginspirasi yang telah saya baca. Masalah teknis, saya masih menggunakan teknis menulis cerpen pada umumnya. Nah, di sinilah kemudian saya menemukan ketidakpuasan itu. Saya merasa tulisan saya—dengan bahasa yang saya gunakan—kurang sesuai untuk anak-anak. Image anak-anaknya hilang, menurut saya. Saya baca lagi. Lagi. Fix, nilai saya pasti tak akan memuaskan.

Apa yang saya lakukan?

Edit! Ya, saya edit berulang-ulang sebelum mengirimkan tugas tersebut. Sembari mengedit saya membela diri, pada ajang itu tidak disebutkan harus berupa cerita anak-anak dengan target pembaca anak-anak. Tidak ada clue yang menyebutkan itu. Lalu saya pikir ulang dan bolak-balik bertanya dalam hati; apa iya? Saya mulai ragu dan keraguan itu membuat saya dengan tekad bulat (optimis seribu persen disertai dengan doa sekuat tenaga) mengirim fabel dalam kondisi yang secara batin sendiri tidak puas dan mangandung rasa was-was (takut salah). Fabel saya masih terasa bukan fabel untuk anak-anak (karena saya merasa tidak ada clue yang menerangkan keharusan berupa cerita anak-anak). Cuss saya kirim setelah edit beberapa kali itu.

Hasilnya?

Dugaan saya benar, nilai saya tidak cukup bagus walau tidak jelek juga. Nilai tertinggi dari kontestan diposting di grup UNSA. Lalu saya mengoreksi kesalahan saya sendiri. Ya, itu tadi, fabel saya kurang bercita rasa anak-anak. Pasti itu yang membuat nilai turun. Alhamdulillahnya, karena nggak diposting dan hak cipta masih milik penulis, maka setelah lomba selesai saya kirimkan fabel itu ke koran. Tentu sudah saya edit di beberapa bagian. Pertama adalah judul—dengan mengubah judul yang lebih mengesankan bacaan anak-anak. Kedua, jumlah kata agar tidak terlalu panjang (karena cernak di koran biasanya hanya berkisar 500-700 kata, tergantung redaksi). Fabel itu akhirnya terbit di Suara Merdeka. Pranalanya di sini.

Tapi juga saya copaskan di sini, ya, buat yang berat hati ngeklik link (hehehe). Selamat membaca….


KESETIAAN KURA-KURA

Oleh: Arrum Lestari
Diterbitkan Suara Merdeka, 4 Desember 2016

DI tepian Sungai Talatala, sebuah sungai abadi di dunia binatang, terdengar suara kupu-kupu sedang bernyanyi. Merdu tetapi sendu, penuh kekosongan. Hanya kesedihan yang nyata terlukis di wajahnya.

Terlihat oleh kura-kura yang berteduh di bawah bebatuan, bahwa kupu-kupu sedang bersandar di kuncup daffodil. Kupu-kupu itu terayun-ayun oleh embusan angin di suatu siang yang mendung. Saat itulah kura-kura berpikir, betapa malang nasib kupu-kupu. Kupu-kupu tak punya rumah, harus hinggap dari pohon ke pohon untuk berteduh, terbang dari taman ke taman mencari nektar, tidak seperti dirinya yang memiliki rumah yang cukup nyaman dan hangat.

Melihat kupu-kupu yang letih dan muram, kura-kura ingin menghiburnya.

“Kupu-Kupu yang cantik! Ada apa gerangan bersusah hati? Musim hujan segera berakhir. Jangan khawatir Kawan, sebentar lagi kau tak perlu bersembunyi dari hujan. Bunga-bunga amarilis, bougenvil, zinia, dan aster pasti bermekaran di musim panas. Kau akan suka,” sapa Kura-kura.

“Oh, Kura-kura buruk rupa. Sepertinya hanya kau yang peduli denganku. Aku hampir saja putus asa. Untunglah kau datang menghiburku,” jawab Kupu-kupu tak menyangka.

“Apa yang terjadi sehingga membuatmu murung sedemikian rupa? Ceritalah, Kawan. Barangkali aku bisa membantu.”

Gambar dari klipingsastra.com

Kupu-kupu pun bercerita perihal dirinya yang malang. Setiap orang mengatakan dirinya cantik rupawan, padahal ia begitu muram dan sedih, begitu kesepian, bahkan dengan kupu-kupu lain pun tak pernah akur dan saling bersaing. Ia bermuram durja karena tak punya rumah untuk berteduh, juga tak tahu asal-usul, tak ada keluarga, dan tak ada tempat untuk pulang. Bagi kupu-kupu, apalah arti kecantikan jika tidak memiliki tempat berlabuh.

Mendengar cerita kupu-kupu, kura-kura pun membatin, “Ya, Tuhan, sesungguhnya kau begitu beruntung, Kupu-kupu. Kau isap nektar yang manis. Kau ciumi bunga-bunga yang harum. Kau bisa terbang ke mana saja kau suka. Kau bisa menikmati luasnya keindahan dunia yang tak mungkin aku jelajahi. Kebebasan senantiasa menyertaimu, tidak terkurung dalam cangkang seperti rumahku”.

“Oh, kalau begitu baiklah Kupu-kupu. Sepertinya aku bisa membantumu keluar dari masalah,” kata Kurakura.

“Kau yakin, Kura-kura?” Kupu-kupu yang merasa lincah itu tidak yakin dengan kura-kura yang kotor, penuh lumpur, dan terlihat seperti binatang dungu.

“Kalau begitu, katakan saja Kura-kura. Aku sudah tak sabar.”

“Kau tahu kan, Sungai Talatala ini adalah sungai yang diciptakan Tuhan untuk kaum serangga? Saat di sini, kau lebih dekat dengan-Nya. Jadi, kau bisa meminta apa saja kepada-Nya. Kau juga tahu kan, Tuhan bisa mengabulkan permohonan apa pun?”

“Ya, tentu.”

“Cobalah meminta sesuatu kepada-Nya.”

“Aku malu Kura-kura. Selama ini aku mengabaikan-Nya. Aku sibuk menerbangkan  ayap-sayapku yang indah. Sibuk bercengkerama dengan bunga-bunga liar di penjuru dunia. Aku telah melupakan-Nya.”

“Tuhan baik hati, Kupu-kupu. Bahkan Tuhan bisa mengampuni semua dosamu kalau kau meminta.”

“Ah, benarkan begitu? Apa kau selalu meminta kepada Tuhan termasuk meminta rumahmu yang koyak itu?”

“Tidak Kupu-kupu. Aku tidak pernah meminta rumah ini. Aku hanya meminta agar aku menjadi orang setia dan taat kepada-Nya. Karena aku takut dengan dunia yang penuh tipu muslihat ini. Aku tak tahan goda. Aku tak bisa membedakan mana jalan yang lurus dan mana yang berliku penuh goda. Kau tahu kan, sejak dulu aku dungu dan bodoh? Mudah sekali ditipu. Karena itulah aku ingin dikaruniai sifat setia. Agar dalam keadaan apa pun, dalam goda macam apa pun, aku tetap setia kepada-Nya dan diberi pertolongan. Perkara rumah ini hanyalah bonus, titipan. Aku beruntung karena ini bisa menghangatkan tubuhku saat aku berenang mencari ikan di Sungai Talatala,” kata Kura-kura panjang lebar.

“Hmmm, baiklah Kura-kura. Aku ikuti saranmu. Aku akan memulai permohonanku.”
***

SEKIAN bulan kemudian di suatu pagi yang cerah, sekelompok anak menunjuk-nunjuk kupu-kupu bersayap kuning yang cantik. Sayap kupu-kupu itu terbentang, sepasang antenanya yang mungil mencuat gagah, dan matanya yang menyerupai manik menyempurnakan keanggunan sang kupu-kupu. Anak-anak itu meloncat girang mengagumi kupu-kupu yang cantik rupawan.

Kupu-kupu itu sekarang telah memiliki rumah, nyaman dan hangat. Rumahnya terbuat dari kaca yang indah. Kupu-kupu sangat lega karena permintaannya telah dikabulkan. Kini ia bisa berbangga hati. Dalam benaknya, ia ingin sekali bertemu dengan Kura-kura untuk memamerkan rumahnya yang lebih indah dari rumah cangkang milik Kura-kura.

Tak jauh dari rumah Kupu-kupu, Kura-kura pun dapat beristirahat dengan tenang di rumahnya yang baru. Satu hal yang ia syukuri, Tuhan telah memberinya sifat setia sampai akhir hayat. Dulu ia memutuskan mengikuti seorang laki-laki yang tengah menangkap Kupu-kupu bersayap kuning demi kesetiakawanan. Ia tak menyesal walau di kemudian hari, ternyata dirinya juga diawetkan oleh laki-laki yang menangkap Kupu-kupu dan dipajang dalam sebuah kotak kaca.

Kura-kura bangga karena masih bisa menemani kupu-kupu dalam satu naungan kebun binatang; kupu-kupu sudah damai di rumahnya di museum serangga, sedangkan dirinya tenang di dalam museum reptil.


Catatan: 
* Ajang pencarian duta literasi di sebuah group kepenulisan UNSA (Untuk Sahabat) -- (group fb)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membuat Ilustrasi Sederhana dengan Coreldraw X5 (Part 2)

DONGENG: Bermain Futsal